LIONTINKU SAYANG part 1
“Sudahlah Rin, tidak ada gunanya kamu menatap liontin itu! Tidak ada artinya! Liotin itu tidak akan membuat dia kembali. Ingat itu!” Mbak Wiarta menatap Rinsa dengan tatapan marah dan seraya menarik liontin yang sedang dilihat oleh Rinsa.
“Apa-apaan sih Mbak! Mbak gak tahu kan bagaimana sakitnya Rinsa kalau liontin ini hilang? Mbak Wia gak akan pernah tahu perasaan aku. Mbak! sekalipun keluarga kita gak suka sama Herxa, aku tetap sayang sama dia Mbak. Ayah gak pernah tahu perasaan aku. Beliau dengan sengaja bilang kayak begitu ke Herxa, agar dia mau pisah dengan aku kan Mbak?”
Rinsa menatap liontin yang tidak jadi diambil oleh kakaknya itu sambil berlinang air mata. Ia mengingat kejadian 2 tahun lalu, dimana Herxa memberikan sebuah liontin bertuliskan “Rinsa Permanza, Herxa Virnanta”.
“Bagus gak De?”
“Bagus kok aku suka banget, tapi kenapa liontin? Kenapa gak makanan kesukaan aku?”
“Ya kalau makanan kesukaan kamu kan bisa beli kapan aja, gak ada kenang-kenangan dong.”
“Begitu.”
“Liontin ini sengaja aku kasih tepat pada tanggal 29 September karena hari ini…” Herxa tidak meneruskan kalimatnya.
“Hari ini hari ulang tahun aku dan tanggal kita jadian.” Rinsa tertawa bersama Herxa.
“Betul. Kamu harus jaga liontin ini Dek. Karena kan kakak sebentar lagi wisuda. Kakak mau kamu gak lupa sama kakak. Ya karena kan gak tahu selanjutnya apa lagi. Bisa jadi kakak gak dinas di sini, siapa tahu kakak dinas di rumah sakit lain yang ada di luar kota? Bagaimana?”
“Ih kenapa lagi ngomongnya kayak gitu? Gak bah Kak. Aku gak bakalan lupa sama kamu. Sekalipun kita gak sekota lagi, misalnya kamu di luar kota aku gak bakal lupain kamu. Ngomong-ngomong yang di leher kamu apa? Coba lihat.”
“Liontin. Aku sengaja buat dua, satu buat kamu dan satu buat aku.”
“Hih lucunya yang ini, aku tukar dong!”
“Sama aja bah, malah yang ini lebih jelek, yang punya kamu sengaja di desain feminim. Sesuai sama kamu yang manis, cantik, putih, dan imut. Hahahaha.”
“Huh, ngerayu aja, aku ngambek.” Rinsa memonyongkan bibirnya.
“Jangan ngambek gitu lah! Kamu kan udah kuliah, ya walaupun masih semester satu, tapi kamu harus bisa buang sifat manja kamu. Jangan suka ngambek dong! Ayo mana jari kelingkingnya? Kita janji gak ngambek-ngambekkan.”
Rinsa memberikan jari kelingkingnya dan mengaitkannya pada jari kelingking Herxa dan mereka berkata,”Janji.”
Teng…teng…teng…
“Dek, udah masuk tuh. Ayo kembali ke kelasmu, kakak juga ada praktek hari ini, kakak masuk kelas ya. Kamu bener-bener tuh belajar teorinya, jadi kalau praktek sekali langsung lulus.”
“Sip lah! Ya masuk kelas gih, ntar dosennya marah lagi.”
“Kakak antar ke ruanganmu dulu ya.”
Herxa mengantarkan Rinsa masuk ke dalam kelas.
“Belajar yang bener sudah. Kakak pergi ke kelas ya.”
“Ya Kak jelek.”
***
“Rin..rin... sudah ngelamunnya?” Mbak Wia mengguncang bahu Rinsa.
“Apa sih gak usah ikutan deh! Aku lagi pengen melamun.”
“Rin kamu itu adik paling bodoh yang kakak miliki, diantara dua adik kakak, kamu yang paling bodoh. Kamu tahu gak? Buat apa ngelamunin orang yang tega ninggalin kamu hanya karena ucapan Ayah. Kalau dia sayang, dia tidak akan melakukan hal ini padamu. Dia baru juga dikatain kayak gitu sama ayah langsung minta pisah sama kamu, kalau dia sayang, dia gak kayak gini, dia pasti tetap sayang dan terima kamu. Dia itu cemen. Tahu kan cemen itu apa? Cemen itu sama artinya dengan bencong. Dasar kamunya memang sudah gak normal. Percuma aja kuliah di Akper Pemkot kalau mahasiswanya kayak kamu! Gak kuat mental, gak malu ya misalnya kamu harus ngerawat pasien, trus ada masalah intern, kamu bawa-bawa ke kerjaan kamu. Gak professional kamu!”
“Stop! Udah ceramahnya? Okelah aku akan lupain Herxa, tapi tolong. Mbak Wia jangan pernah nyuruh aku untuk buang liontin itu! Aku gak bisa Mbak. Sulit buat aku untuk buang liontin itu.” Rinsa menangis semakin kencang sehingga Cafia, adik perempuannya masuk ke kamar.
“Mbak Rin kenapa? Kok nangis sih! Diapain sama Mbak Wia?” Fia mengelap air mata Rinsa.
“Liat tuh Mbakmu! Gara-gara Mas Herxa dia nangis terus. Sudahlah Rin, lagian sudah dua tahun dia pergi dari hidupmu, dia sudah senang Rin. Ikhlaskan dia.”
Rinsa tetap menangis dan pergi keluar kamar. Ia mengambil kunci motor dan pergi ke suatu tempat yang sering dia kunjungi saat sedih.
***
“Kak. Sekarang kamu dimana? Kenapa kamu tega banget sama aku. Kamu tega sama aku. Kamu lebih memilih hal itu dibanding aku. Kenapa?” Rinsa berbicara sendiri sambil menatap air pantai yang berombak dan sesekali melihat liontin yang selalu menemaninya kemana pun ia pergi.
“Gak ada yang perlu di tangisi Rin”.
Rinsa kaget dan membalikkan tubuhnya ke belakang. “Ardan?”
Ardan tertawa melihat wajah Rinsa yang jelek karena habis menangis.
“Ngapain kamu kesini?mau ngetawain aku yang jelek ya?”
“Ih kepedean banget, aku datang tadi ke rumah kamu, katanya Mbak Wia kamu pergi dengan keadaan menangis, ya aku kan tahu kamu, jadi aku tahu kemana kamu pergi kalau lagi bosan atau sedih. Di sini, di pantai yang sangat digemari orang. Ya pantai Amal. Hahaha.” Ardan duduk di sebelah Rinsa.
Rinsa hanya diam tanpa menjawab perkataan Ardan. Tatapannya kosong, hampa tanpa ada ekspresi.
“Aku tahu Rin, untuk mencoba mengikhlaskan seseorang hilang dari hidup kita memang sulit, seperti halnya menginfus orang,tapi cobalah biarkan semuanya berjalan seperti air yang mengalir, kamu sudah dua tahun pisah dengan Mas Herxa, dan aku tahu perkenalanmu dengan dia karena pada saat ospek dia selalu menjagamu, tapi sekarang apa? Dia sudah pergi Rin. Kamu harus ikhlaskan mas Herxa, jujur, aku sebagai sahabatmu sedih liat kamu kayak gini. Jangan hanya karena seorang Herxa kamu menjadi sedih, pemurung. Dulu kamu sudah bisa lupain dia, kenapa sekarang murung kembali?” Ardan menatap air pantai yang mulai pasang.
“Kamu enak ngomong begitu! Aku dulu berusaha lupain dia, dan itu berhasil. Tetapi sekarang aku sedih lagi. Karena minggu depan saat perayaan wisuda kelulusan kita tidak ada seseorang yang pernah ku sayang yang akan mengucapkan selamat padaku.” Rinsa kembali menatap liontin itu.
“Kamu itu cantik,putih,imut Cuma sayang mungil. Ya aku tahu tinggimu Cuma 150 centimeter aja kan! Masuk AKPER Pemkot cuma karena nilaimu tinggi aja. Hahahaha.”
“Huh! Bagus lah aku masuk karena nilaiku tinggi, daripada kamu, masuk karena apa? Ikut tes, coba kayak aku jalur prestasi, gak bayar pendaftaran, gak ikut tes dan lain-lain.”
“Eee. Rinsa udah gak nangis lagi eh!” Ardan mengalihkan suasana dengan mengejek Rinsa.
Rinsa hanya tertawa melihat Ardan yang menghiburnya. Di dalam hati Rinsa selalu menilai jika Ardan selalu ada dikala ia sedih. Tidak pernah membuatnya menangis dan selalu menghiburnya dengan selera humor yang ia miliki.
“Rin, kamu gak pulang kah? Udah jam setengah lima sore, pulanglah. Besok kan kita mesti selesaikan satu praktek lagi Kalau mau wisuda minggu depan. Lebih baik kamu belajar. Aku pulang duluan ya.” Ardan meninggalkan Rinsa yang tersenyum menatapnya.
***
“Kenapa matamu bengkak Rin?” Ayah yang memperhatikan Rinsa sejak ia masih di teras rumah tadi bertanya padanya.
“Habis nangis.”
“Apa karena Herxa?”
“Lain”
“Terus”
“Gara-gara liontin.”
“Sudah ayah bilang jangan kamu simpan liontin itu, kalau bisa buang saja, dulu kamu sudah bisa melupakan dia, tapi kenapa kamu jadi sedih lagi? Ingat Rin kamu besok harus praktek yang terakhir kalinya. Kamu harus bisa, jangan sampai kamu gak wisuda minggu depan, ayah sekarang bukan lagi menjadi dekan di UB, jangan buat ayah malu Rin.”
“Iya Ayah”. Rinsa masuk ke dalam kamar.
***
Rinsa berkutat dengan buku yang dipelajarinya. Karena besok ia harus mengikuti ujian praktek yang terakhir, ia harus bisa mengerjakan praktek tersebut. Karena perjalanan yang ia tempuh selama ini telah jauh, mulai dari semester pertama hingga semester enam bukanlah hal yang mudah. Dan akan sia-sia jika ia tidak serius. Namun, ditengah serius berkonsentrasi, konsentrasinya terhenti ketika ia melihat liontin yang di taruhnya di atas meja. Ia kembali mengingat kenangannya bersama Herxa.
“Dek kalau kakak wisuda, kamu datang ya!”
“Ya dong. Masa enggak. Tandanya aku..”
“Gak perhatian. Dek besok kamu datang ya. Besok ibu kakak datang, kamu juga dong! Hari ini kakak sengaja bawa kamu ke sini karena abis wisuda kita pasti udah gak sering ketemu, kakak kan udah selesai kuliah, kamu janji ya jangan macem-macem.”
“Iya bah. Aku datang besok, aku pasti datang.”
Keesokkan harinya saat perayaan wisuda mahasiswa dan mahasiswi Akademi Keperawatan Universitas Borneo Tarakan. Rinsa tidak terlihat diacara itu. Herxa terlihat cemas mondar-mandir mencari sosok wanita yang ditunggunya. Satu jam telah berlalu, acara belum dimulai. Namun, Rinsa tidak juga terlihat.
“Ayah, please, izinkan Rin pergi ke acara itu, Ayah kan dekan disitu Yah, pasti Ayah ikut menghadiri acara itu kan. Ayolah Yah, izinkan Rinsa.” Rinsa membujuk ayahnya yang keras kepala agar mengizinkannya pergi ke acara wisuda Herxa.
“Ayah tidak akan pernah mengizinkan kamu bertemu dengannya lagi Rin! Kamu tetap di rumah. Ayah akan pergi sendiri.”
“Mengapa Ayah membenci Herxa Yah? Kenapa setelah Ayah bertemu dengannya dan tahu jika Rinsa memiliki hubungan dengannya mengapa Ayah melarang Yah? Apa alasan Ayah? Kenapa Ayah benci kak Herxa?”
Pak Harfi Permanza tidak menjawab pertanyaan putrinya. Ia masuk ke dalam kamar untuk bersiap-siap menghadiri acara wisuda tersebut. Harfi memang tidak menyukai Herxa semenjak ia tahu Herxa dan Rinsa memiliki hubungan dibelakangnya. Ia tidak menyukai Herxa karena Herxa tidak pernah mengunjungi Rinsa. Harfi menganggap jika Herxa adalah laki-laki tidak baik buat Rinsa.
Rinsa masuk ke dalam kamar dan menangis. Cafia datang menghampirinya.
“Mbak, bagus mbak telepon dulu mas Herxa. Kasih tahu kalau Mbak lum bisa datang.”
“Baik, Mbak telpon ya.” Rinsa menghapus air matanya dan segera menelepon Herxa.
“Assalamualaikum.”
“Walaikumsallam. Kak ini aku, Rinsa Cuma mau kasih tahu kalau ada perlu sedikit jadi datangnya telat. Kakak tunggu aku ya.”
“Aku fikir kamu gak mau datang, oklah De. Kakak tunggu kedatanganmu. Wasalamualaikum.”
“Walaikumsallam.”
Rinsa segera pergi menuju gedung Universitas Borneo yang berada di Jalan Amal Lama. Diperjalanan, Rinsa mengebut karena tidak ingin terlambat dan diketahui ayahnya yang juga sedang dalam perjalanan. Tiba-tiba handphonenya bordering. Rinsa menjawab telepon dari Herxa.
“Ya Kak, aku masih di jalan. Tunggu ya.”
“Oh iya, hati-hati ya.”
Ketika Rinsa memasukkan handphone ke dalam tas, ia tidak sadar jika ada balok di depannya. Segera Rinsa mengerem mendadak. Sayang, Rinsa celaka dan jatuh tidak sadarkan diri.
warga Kampung Enam yang melihat kejadian itu segera menolong Rinsa. Dan membawanya ke RSUD. Rinsa langsung dilarikan ke UGD karena darah banyak keluar dari kepalanya, akibat benturan batu saat ia terjatuh tadi.
“Rinsa, kamu dimana sih! Kamu bohong Rin, katanya mau datang, acaranya bentar lagi Rin, datang dong.” Herxa berbicara sendiri sambil meremas-remas jemari tangannya.
“Herxa, acaranya sebentar lagi akan dimulai, ayo kamu kenapa masih di luar. Masuk sudah, Ibu tidak sabar menanti ini.” Herxa dan ibunya masuk ke dalam ruang yang berisi 150 mahasiswa baserta kedua orang tuanya.
“Baiklah acara wisuda mahasiswa-mahasiswi Akademi Keperawatan Universitas Borneo Tarakan angkatan 2007 akan segera dimulai. Dimohon kepada para orang tua yang datang untuk segera duduk di tempat yang sudah disediakan.” Pembawa acara wisuda memberikan arahan kepada para orang tua.
“Acara wisuda mahasiswa-mahasiswi Akademi Keperawatan Universitas Borneo Tarakan Diploma Tiga dimulai, sebelumnya saya akan membacakan susunan acaranya. Acara pertama, pidato singkat dari rektor universitas Borneo Tarakan. Kedua, sambutan dari kepala Dekan fakultas keperawatan…”
Herxa, tidak memperhatikan ucapan pembawa acara tersebut. Perasaannya gelisah menanti Rinsa. Berkali-kali ia mengirim pesan singkat pada Rinsa, akan tetapi tidak ada balasan. Ia mencoba untuk menelepon, tetapi tidak diangkat.
“Rinsa, kamu jahat. Kamu ingkar janji. Aku benci kamu.” Herxa berbicara sendiri sambil melihat rektor menyampaikan pidato singkat.
Di rumah sakit, Rinsa belum juga sadarkan diri. Hampir setengah jam ia pingsan, sudah sekantong darah ia habiskan. Rinsa memang seseorang pembawa hemophilia, yaitu penyakit darah sukar untuk membeku karena tidak ada trombosit dalam darahnya. Penyakit ini memang penyakit keturunan yang di bawa oleh keluarga mereka.
“Siapa keluarganya?” Dokter yang menangani Rinsa keluar dari ruangan.
“Saya tidak tahu Dok, saya hanya menemukan ini di dalam tasnya.” Seseorang yang mengantar Rinsa memberikan sebuah dompet bewarna pink bergambar Winnie the Pooh.
“Baiklah saya akan melihat kartu identitas dan menghubungi keluarganya. Apa lagi yang kamu dapat?”
“Ini Dok, sebuah kunci motor dan helm yang dikenakannya. Motornya tidak apa-apa. Motornya ada diparkiran Rumah Sakit ini.”
“Baiklah, terima kasih atas bantuannya.”
Dokter cantik bernama Vara itu kemudian melihat kartu tanda mahasiswa Rinsa. Ia segera menghubungi nomor yang ada disana.
“Selamat siang. Benar ini dengan nomor 0551 23454? Bisa saya bisa berbicara dengan orang tua dari seseorang yang bernama Rinsa Permanza”
“Ya benar, saya ibunya?” Sahut suara diseberang.
“Saya dokter dari RSUD Tarakan, saya hanya ingin memberitahukan jika saudari yang bernama Rinsa Permanza mengalami kecelakaan dan dirawat di ruang UGD. Bisakah orang tuanya datang kemari?”
“Apa Dok,ya..ya…ya… baiklah saya akan kesana sekarang.”
Ibu Rinsa terlihat gugup dan segera pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Rinsa, tugasnya untuk mengajar di SMP 2 Tarakan sebagai guru Kewarganegaraan tidak dihiraukannya. Pikirannya sangat kacau memikirkan keadaan Rinsa. Bagaimana keadaanmu Nak, semoga kamu tidak terluka, batinnya.
Sesampainya di rumah sakit, bu Oliqa segera menuju ruang UGD.
“Rin, kamu kenapa begini.”
Rinsa yang sudah siuman tersenyum melihat ibunya.
“Rinsa tadi ingin datang ke acara wisuda kak Herxa Bu, tapi Ayah tidak mengizinkan. Jadi aku nekat lewat jendela dan ngebut Bu. maafin Rinsa ya. Bu apakah acaranya sudah selesai?”
“Ibu tidak tahu Rin, tapi ayahmu belum pulang, itu tandanya acaranya belum berakhir.”
Rinsa menangis karena tidak dapat hadir diacara itu, ia meraih handphone yang diberikan ibunya dan segera menghubungi nomor Herxa. Tapi Herxa tidak mengangkatnya.
“Mungkin dia sibuk Rin.”
Rinsa hanya menangis sambil menatap langit-langit rumah sakit. Ia sungguh tidak menyangka jika akan mengalami kecelakaan.
Sebulan setelah kejadian itu, Herxa tidak ada menghubungi bahkan menemui Rinsa, ia mencoba untuk menghubunginya, namun nomor yang Rinsa coba tidak pernah tersambung.
Akhirnya pada suatu hari datang sebuah surat.
To: Adik Rinsa
Asalamuallaikum…
Rin, maafkan aku selama ini tidak pernah menghubungi kamu. Aku tahu jika ayah kamu tidak suka padaku, aku tahu jika kamu kecelakaan saat ingin menghadiri acara itu. Aku sengaja ganti nomor agar kamu tidak dapat menghubungiku, bahkan berkomunikasi lagi denganku. Mungkin perkataan ayahmu benar, aku dan kamu tidak akan bisa bersama. Lupakan aku Rin, aku akan pergi dari kota tercinta ini. Aku tidak dapat memperkirakan sampai kapan aku akan pergi. aku tahu jika ini sakit untukmu. Tapi berusahalah untuk mengikhlaskan aku. Aku sayang sama kamu. Sebenarnya aku tidak ingin kehilangan kamu, tetapi beginilah alur cerita yang diberikan tuhan untuk kita. Mungkin ini yang terbaik, yang terindah , yang pasti sangat-sangat pantas buat kita, yah..walaupun sakit. Aku tahu Rin, kamu pasti sangat sakit hati, tetapi maafin aku. Sekali lagi maafkan aku. Teruskan perjalanmu Rin, buktikan padaku jika kamu lebih hebat daripada aku, yakin jika kamu bisa menjadi perawat yang pintar dan pokoknya bagus deh. Hahaha… sekali lagi maafin kakak Rin, jangan ingat-ingat kakak lagi, kakak sudah bahagia disini.
Wasalamuallaikum wr…wb…
Yang menyayangimu,
Herxa Virnanta
Rinsa mengangis membaca surat itu, ia tidak menyangka jika Herxa meninggalkannya begitu cepat, hanya setahun ia dan Herxa bersama. Ia dan Herxa menyembunyikan hubungan mereka dari orang tua rinsa selama 9 bulan, dan ayahnya mengetahuinya ketika ia mendapati Rinsa jalan bersama Herxa.
***
“Rin, sudah jangan ngelamun, lupakan dia Rin.” Mbak Wia yang sedari tadi memperhatikan Rinsa melamun menegurnya agar kembali belajar.
“Ah iya Mbak.” Rinsa menghapus air matanya.
“Rin, kamu gak boleh kayak gini, buktiin ke mantan kamu itu jika kamu bisa lebih dari dia, dimana martabatmu sebagai wanita? Jangan hanya karena dia kamu jadi drop. Kamu harus bisa lebih.”
Mbak Wiarta meninggalkan Rinsa yang termenung. “Mbak Wia benar, aku harus bisa lebih dari kamu. Aku pasti bisa.”
Sejak saat itu, Rinsa tidak lagi sering melamun. Liontin yang selalu menemaninya kini ia simpan di dalam kotak. Seminggu kemudian Rinsa melaksanakan acara wisuda.
“Gak terasa, anak-anak Ayah sudah menetas semua. Kamu terlihat cantik mengenakan kebaya itu Rin.”
“Ayah betul, Rinsa terlihat anggun, dewasa sekali. Padahal umurnya baru 21 tuh!” Mbak Wiarta melihat Rinsa sambil tertawa.
“Hah aku keliatan kayak apa?”
“Mbak kelihatan kayak nenek-nenek.” adiknya tertawa melihat Rinsa.
“Baiklah, sekarang kita berangkat.” Ayah menyuruh semua untuk masuk ke dalam mobil kijangnya.
Diperjalanan Rinsa berharap jika Herxa akan datang memberikan ucapan selamat. Ia menatap pemandangan diluar. Namun, ia hanya memikirkan langkah apa selanjutnya yang akan dia ambil. Ia tidak puas dengan gelar diploma tiga, ia berencana jika selesai kuliah di sini ia akan melanjutkan strata satu di UGM. Dimana para sepupu dan mbak Wiarta kuliah.
***
“Ayo turun, acara akan segera dimulai.” Ayah memerintahkan pada kami untuk turun.
“Ayah dan Ibu yang akan mendampingimu, Wia kamu jaga Cafia, jangan biarkan Fia membuat ulah.”
“Enak aja Ayah nih! aku kan adiknya Mbak Rin yang paling cantik.” Fia cemberut pada Ayah.
“Ya sudah kami masuk dulu ya.” Ibu,Ayah dan Rinsa masuk ke dalam aula.
Tiga jam acara wisuda akhirnya berakhir. Rinsa dan kedua orang tuanya keluar dengan wajah yang berseri-seri, mereka bangga pada Rinsa karena Rinsa mendapat IP tertinggi diantara teman-temannya. Ia mendapatkan IP 3,99. Hal ini merupakan hal yang membuat dirinya dan keluarganya bangga. Ketika Rinsa dan keluarganya bersiap-siap untuk pulang ada seseorang yang memanggilnya dari arah belakang..
“Rinsa…!” Teriak seseorang.
Rinsa membalikkan tubuhnya dan mendapati sosok yang sudah sangat dikenalnya.
“Kakak?” Rinsa tidak kuasa menahan rasa harunya. Ia menangis dan berlari menghampiri Herxa. Ingin rasanya ia memeluk orang yang sudah dua tahun belum dapat dilupakannya.
“Maafin aku Rin, aku terpaksa pisah dengan kamu karena…”
“Karena apa?”
“Karena kita adalah saudara kandung, aku baru tahu itu setelah aku tahu jika ayah kamu adalah Harfi Permanza. Dia adalah ayah aku juga Rin. Aku baru mengetahuinya setelah ibuku menghadiri acara wisudaku Rin. Dia menikah dengan ibuku dulu di Samarinda, ibuku bernama Vania Rin. Tanyakan pada Ayah dan Ibumu. Mereka pasti kenal. Namun, karena sesuatu hal ayah pergi ke Tarakan dan menikah dengan ibumu.”
Mereka tidak sadar jika sedari tadi ayah,ibu, mbak Wia,dan Fia memperhatikan mereka. Ibu tidak percaya akan perkataan Herxa. Wanita cantik itu tidak menyangka jika Herxa adalah bagian dari mereka dan merupakan anak dari suami dan sahabat kuliahnya dulu di Samarinda.
“Apa? Jadi kamu putra dari wanita yang bernama Venia Arfani?” ibu mengelap air matanya.
“Ya Bu. aku memang anak dari Ibu Venia yang dulu dikhianati oleh dia.” Herxa menunjuk ayah Rinsa yang juga merupakan ayah kandungnya.
“Biar saya jelaskan.” Ayah mencoba menjelaskan.
“Cukup!” Rinsa berlari meninggalkan mereka.
Rinsa tidak tahan mendengar kata-kata Herxa, ia tidak terima dengan semuanya. Ia berlari keluar kampus dan terus berlari sambil berlinang air mata.
Rinsa berlari dengan keadaan terperuk dan tidak stabil. Ia menyusuri jalan sambil terus menghapus air matanya. Dan dari arah berlawanan, sebuah mobil sedan silver melaju sangat kencang.
“Ah!!!”
Rinsa tidak sadarkan diri.
bersambung