THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Rabu, 14 Maret 2012

Lingga

Semua murid terpana melihat makhluk cantik yang berdiri di hadapan mereka. Makhluk itu adalah murid baru di kelas XII IPA 2. Dari sekian banyak murid yang terpana itu, hanya satu dari mereka yang tidak peduli dengan kehadiran makhluk itu. Siswa itu adalah Pralingga. Dia memang tidak pernah tertarik dengan hal-hal yang terjadi di dalam kelasnya. Dia merupakan murid kutu buku dan jarang bergaul dengan teman-temannya. Hal ini Lingga lakukan karena merasa jera dengan teman-temannya dulu ketika Lingga bersekolah di Sekolah Dasar dulu. Saat itu terjadi peristiwa yang sangat pahit yang menerpa hidupnya. Lingga tidak menyangka jika hal itu dapat terjadi pada dirinya. Ketika itu Lingga memiliki seorang sahabat yang bernama Rara. Lingga dan Rara bersahabat sejak SD. Lingga selalu bersama Rara. Setiap orang yang kenal dengan mereka tidak heran jika melihat dimana ada Rara disitu juga ada Lingga. Mereka merupakan sahabat yang sangat akrab. Jalinan persahabatan mereka putus ketika kecelakaan terjadi pada diri Lingga. Kejadian itu terjadi 8 tahun yang lalu, dimana saat itu Lingga berada di kelas III SD. Saat itu Lingga dan Rara pulang sekolah bersama, hal ini memang sering mereka lakukan. Seperti biasa Lingga menggandeng tangan Rara, hal ini Lingga lakukan karena dia ingin melindungi sahabat yang dia sayangi. Ketika itu Rara merasa haus dan meminta Lingga untuk membelikannya es. Lingga menerima permintaan Rara. Lingga dan Rara akhirnya memutuskan untuk membeli es di warung Bi Yun yang berada di seberang jalan,warung yang memang biasa mereka singgahi jika mereka lelah. Ketika Rara melepaskan tangannya dari gandengan tangan Lingga, Rara segera berlari ke seberang untuk membeli es. Namun, dari jarak tidak jauh ada sebuah mobil yang melaju sangat cepat, Rara yang ketakutan berdiri diam. Lingga yang melihat Rara langsung mendorong Rara. Hal itu membuat Rara selamat, tapi tidak dengan Lingga, salah satu kaki Lingga terjepit ban mobil tersebut. Warga yang melihat kejadian itu, segera menolong mereka dan meminta pertanggung jawaban kepada si pengendara. Lingga akhirnya dibawa ke Rumah Sakit Ibu dan segera di operasi karena keadaan kaki Lingga tak dapat ditolong lagi. Atas persetujuan, akhirnya Lingga dioperasi. Kecelakaan itu membuat Lingga cacat, dia hanya bisa berjalan dengan satu kaki karena Lingga harus kehilangan kaki kanan miliknya. Semenjak Lingga menjalani masa perawatan, ia tidak pernah sama sekali melihat Rara. Menurut cerita Ibunya, Rara dan keluarganya pindah ke Bogor karena Ayahnya mendapat tugas dinas di sana. Lingga sangat sedih mendengar cerita itu, hari-hari yang dijalaninya terasa hampa tanpa Rara. Sekarang dia pulang sekolah sendiri tanpa ada seorang sahabat disampingnya.
Ada satu hal yang baru diketahui Lingga setelah dua minggu Rara pergi. Lingga mendengar kabar ini dari salah seorang tetangganya yang mendengar ucapan Ayah Rara saat mereka ingin pindah ke Bogor. Pak Buni, tetangga Lingga mengatakan jika kepergian Rara ke Bogor itu bukan karena Pak Gorge mendapat tugas di sana, melainkan karena tidak mau anaknya berteman dengan Lingga. Mendengar itu, hati Lingga sangat sakit, dia tidak menyangka orang tua sahabatnya itu berfikiran negative padanya. Tetapi Lingga tidak pernah membenci Rara dan keluarganya.
Kehidupan Lingga menjadi sepi dan tidak bahagia semenjak Rara pindah, hal yang dilakukan Lingga setiap hari hanya membaca buku di kamar dan hanya keluar jika butuh sesuatu. Lingga malu untuk keluar rumah dengan keadaannya yang memakai kursi roda. Lingga malu dengan orang-orang sekitarnya. Begitu pula di sekolah, Lingga hanya diam di kelas dan menjadi pendiam. Lingga jarang bahkan tidak pernah bicara jika temannya tidak mengajaknya bicara duluan. Lingga hanya berbicara jika tidak mengerti dengan pelajaran yang dijelaskan dan menjawab soal yang diberikan oleh Ibu Guru. Meskipun memiliki sifat yang berubah kaku seperti itu, Lingga termasuk murid pandai, dia selalu menjadi juara kelas.
“Anak-anak perkenalkan ini Rara, dia murid baru pindahan dari SMA Negeri 1 Bogor, Rara silahkan duduk di sebelah sana”. Ibu guru Cantika menyuruh Rara duduk di sebelah Lingga. Sebelah bangku Lingga memang selalu kosong, tidak ada seorang murid yang mau duduk dengannya karena sikap Lingga yang dingin dan cuek.

Rara pergi ke tempat dimana Ibu guru menyuruhnya. Sejenak Rara memperhatikan wajah anak laki-laki yang duduk di sebelahnya, Rara merasa familiar dengan wajah temannya itu, tetapi ia tidak mengingat siapa anak laki-laki ini. “Hai, bolehkan Rara duduk di sini?” Tanya Rara sambil tersenyum manis. Namun, bukan jawaban yang didapat Rara, melainkan tatapan sinis dan kesal dari Lingga. Karena merasa di cuekkin, Rara memutuskan untuk tidak bertanya lagi. “Teng-teng” bel istirahat berbunyi. Para murid segera berlarian keluar, ada yang menuju kantin, ada yang di dalam kelas, ada yang duduk-duduk di teras kelas. Rara memutuskan untuk berada di kelas karena dia belum banyak mengenal murid-murid di sekolah ini, bahkan teman sekelasnya juga banyak yang belum dia kenal. Rara kembali mencoba mengajak Lingga berbicara, namun Lingga tetap sama seperti tadi. Karena kesal Rara marah pada Lingga dan berkata”Kamu ni kenapa sih?kurang ajar banget, aku ni mau berteman sama kamu,kenapa kamu cuekkin aku?”. Lingga hanya diam dan terus melanjutkan membaca buku yang sedang asyik dibacanya tanpa menoleh pada Rara. Karena dicuekkin terus, Rara mengambil buku yang dibaca oleh Lingga. Tanpa diduga, Lingga sangat marah dan memukul meja sambil berkata”Eh kembalikan buku aku! Dasar gadis bodoh!”. Rara sangat kaget dengan ucapan Lingga, dia segera mengembalikan buku yang tadi direbutnya kepada Lingga. Dengan bercucuran air mata Rara pergi ke luar kelas. Lingga merasa bersalah dengan ucapannya pada Rara. Namun Lingga tetap pada pendiriannya yaitu tidak mau tahu dengan apa yang dilakukannya pada Rara karena dia sangat benci pada Rara.
“Ra..kamu kenapa?” Tanya Bu Cantika ketika akan memasuki kelas. “Ah Rara ga kenapa-kenapa kok Bu, Cuma kelilipan aja”, dustanya.”Lantas mengapa tetap di luar tidak masuk kelas?”. Rara tidak menjawab pertanyaan Bu Cantika, melainkan tersenyum dan kembali masuk ke dalam kelas.
Sepulang sekolah, Lingga membuka album kenangan dirinya dahulu bersama Rara. Dirinya masih kesal dengan yang dilakukan orang tua Rara kepadanya. Mengapa orang tua Rara harus menjauhkan dirinya dari Rara, apa karena Lingga menjadi cacat dan hanya bisa di kursi roda akibat kecelakaan itu, apa karena orang tua Rara takut jika mereka saling jatuh cinta ketika dewasa kelak. Lingga meneteskan air mata yang sedari tadi di tahannya. Dia tidak kuasa menahan kenangan masa kecilnya dahulu bersama Rara. Sahabat yang sangat dia sayangi tega meninggalkannya bahkan lupa padanya. Sekarang Lingga bertemu kembali dengan Rara. Namun, yang terjadi yaitu kenyataan jika sahabatnya itu tak mengenali dirinya, bahkan tidak ingat pada namanya. Sakit hati Lingga bertambah setelah Rara duduk di sebelahnya. Lingga berjanji tidak akan pernah menegur Rara, sekalipun Rara berusaha untuk berteman dengannya. Meskipun dahulu ia pernah berjanji jika tidak akan pernah benci dengan Rara dan keluarganya.
Di dalam rumah mungil yang bersih dan terlihat mewah itu, Rara duduk sambil menikmati pudding buatan ibunya. Rara baru saja pulang sekolah. Rara termenung mengingat wajah anak laki-laki yang duduk disebelahnya. “Rasanya aku inget siapa dia”, gumamnya. “Inget siapa Ra?” teguran Ibunya membuat Rara kaget. Segera Rara tersenyum dan meninggalkan Ibunya yang bingung dan menuju kamar.
***
“Jangan-jangan Rara sahabatmu waktu kamu masih SD itu Lingga”, ujar kakak Lingga. “Aku emang dari awal udah tahu kalau murid baru itu Rara, karena ketika aku melihat buku tulisnya, aku menemukan nama Rara Tetrahervanti”, ujar Lingga sedih. “Sudah jangan sedih, meskipun dia kembali padamu dengan sikap dan sifat yang berbeda, kamu jangan jahat sama dia”, nasehat kakak Lingga. Kakak Lingga kemudian pergi meninggalkan Lingga yang masih melamun dengan perasaan sedih karena Rara. Mengapa kamu berubah Ra?Apa yang membuat kamu lupa sama aku?aku sedih Ra dengan sikap kamu.
Lingga dengan enggan dan malas pergi ke sekolah. Diperjalanan dia hanya melamun saja. Kakaknya yang memperhatikan sikap Lingga juga enggan untuk bertanya. Kakaknya tahu bagaimana perasaan adiknya itu. Karena itulah Zera tidak berbicara sedikit pun. Tak terasa Lingga sudah sampai di SMA Negeri 1 Tarakan. Lingga segera didorong oleh Zera menuju ke kelas XII IPA 2.
Sesampainya di kelas, Lingga mendapati Rara sudah duduk pada bangku yang terdapat di sebelahnya. Rara memberikan sebuah senyuman pada Lingga. Hati Lingga sakit melihat senyum manis Rara itu, ingin rasanya dia mengbrol dengan Rara dan bercanda seperti yang mereka lakukan saat masih SD.
Melihat semua ini sekarang, hati Lingga makin teriris. Rasa sayang Lingga pada Rara tidak dapat dibendungnya lagi. Berjuta rasa berkecamuk dihatinya. Sesekali dia menatap wajah Rara yang cantik bak bidadari itu. Lingga ingin sekali menegur dan mengobrol dengan Rara, namun hal itu dibuangnya jauh-jauh, karena dia merasa sangat tidak cocok dengan gadis itu, dan rasa kebenciannya pada keluarga Rara juga masih disimpannya.
“Biar aku bantu,” Rara meyentuh kursi roda Lingga.
“Tidak usah Bodoh! Aku bisa sendiri!” Lingga menatap Rara sinis.
Rara hanya menatap sedih Lingga yang meneruskan kursi rodanya hingga tepat di sebelah Rara.
Zara, kakak Lingga yang melihat kejadian itu hanya tersenyum pada Rara. Rara pun membalas senyumannya.
“Rara juga tidak mengingat aku.” Gumam Zara.
***
“Kamu kenapa sih Ling? Aku salah apa sama kamu? Bilang dong kalau aku ada salah sama kamu. Aku mesti apa Ling? Jangan giniin aku.” Rara memegang tangan Lingga.
Lingga segera menarik kembali tangannya dan membuang muka pada Rara. Melihat itu Rara hanya tersenyum dan berusaha tetap sabar menghadapi Lingga. Melihat senyuman Rara, Lingga sangat sedih, ingin sekali rasanya ia mengobrol dan pulang bersama seperti dulu. Namun, rasa sakit hati yang sangat dalam itulah yang menguatkan Lingga untuk menjauhi Rara.
***
“Teman-teman, besok adalah hari ulang tahunku yang ketujuh belas, aku mengadakan pesta. Kalian datang ya! Ini undangannya. Ada pun peta rumah aku disitu. Jangan lupa ya!” Rara membagikan kartu ulang tahun miliknya ke teman-temannyya, tidak terkecuali Lingga.
“Ling, kamu datang kan nanti kepesta ulang tahun aku? Aku sangat mengharapkan kehadiranmu Ling. Aku mohon datang ya.” Rara memberikan kartu itu sembari tersenyum manis pada Lingga.
Lingga hanya melihat Rara tanpa tersenyum sedikit pun, ia juga tidak menyentuh kartu itu sedikit pun. Tapi didalam hati ia berjanji akan datang ke pesta sahabat kecilnya dulu.
***
Sore itu tepat di rumah mungil di Jalan Mulawarman RT.18 No.98 Rara melangsungkan ulang tahunnya. Ia menggunakan dress hijau lumut, sesuai dengan kulitnya yang putih dan wajah mongoloid yang ia miliki. Rambut panjang sepundak tergerai dengan bandana hijau berlapis pink menambah kecantikan wajah Rara yang imut-imut.
“Terima kasih kawan-kawan karena sudah mau hadir di pesta sederhana ini. Hari ini saya mensyukuri usia saya yang ketujuh belas tahun. Semoga di usia ini saya menjadi lebih baik. Amin. Baiklah teman-teman,langsung saja kita masuk ke acara doa bersama ya, setelah itu kita mencicipi masakan ibu saya.” Rara mengakhiri sambutannya.
Setelah melakukan doa bersama, segera tamu yang hadir mulai mencicipi hidangan yang telah disediakan. Ada yang memakan ayam goreng pedas manis,bakso,serta minuman khas buatan Rara. Es LiRa. Rara memang suka mencoba sesuatu yang baru, sehingga ia memberi nama es hasil temuannya dengan nama Lira, karena singkatan dari namanya dan nama teman kecilnya.
Rara melihat kesana kemari mencari sosok yang sangat ditunggu. Yakni sosok Lingga. Ia berharap jika Lingga yang jutek itu mau menghadiri acara ulang tahunnya dan mau berteman dengannya. Namun, sepertinya harapan itu tidak memihak Rara. Waktu sudah menunjukkan pukul enam sore, sudah satu jam pesta berlalu. Namun, Lingga belum juga hadir. Teman-teman sudah banyak yang pulang. Rara meneteskan air mata, ia sangat kecewa. Ia segera masuk ke dalam kamar.
“Rara!”
Rara membalikkan badan dan mendapati sosok yang ia tunggu sejak tadi.
“Lingg? Kamu datang juga?”
Rara sangat senang sekali, Lingga yang sangat dingin padanya kini datang ke pesta ulang tahunnya.
“Selamat Ulang tahun.” Lingga memberikan sebuah bungkusan kecil.
“Terima kasih. Lingga kenapa kamu mau datang ke pestaku?” Rara duduk di depan kursi roda Lingga.
“Karena kamu sahabatku.”
“Kita kan baru seminggu kenal? Kok bisa jadi sahabat Ling?”
“Dia sahabat kecilmu Ra, dia itu Pralingga Haksono. Maafkan ayah dan Ibu yang memisahkan kalian dulu.”
Rara menangis mendengar ucapan orang tuanya. Ia segera memeluk Lingga. Menangis sejadinya. Ia sangat merasa bersalah melihat keadaan Lingga karena masa kecilnya dulu.
“Ling aku minta maaf atas aku dan ortu aku ya. Aku gak ada maksud buat tinggalin kamu. Maafin aku Ling.” Rara masih memeluk Lingga.
Lingga sudah merasa agak lega, karena semua sudah terbongkar dan ternyata Rara memang tidak sejahat fikirannya.


HABIS


1 komentar:

madyquell mengatakan...

Sontava Hot Sauce - Classic Style Habanero, 12 oz
Our flagship vegetable-based Habanero apple watch titanium hot titanium armor sauce blends fresh carrots, onions, garlic and salt titanium pot together titanium necklace to create a flavorful, titanium tube flavorful, flavorful alternative to $8.95 · ‎In stock