THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Senin, 23 April 2012

“Anak cacat tidak tahu diri!” Begitulah yang sering diucapkan oleh teman-temanku di sekolah. Aku bernama Dirgantara Bramudya. Aku terlahir dengan keadaan abnormal, tidak seperti anak pada umumnya. Aku diejek dan terus diejek oleh teman-temanku, mereka beranggapan aku adalah seorang anak yang tidak menguntungkan, pembawa sial dan sebagainya. Tidak seorang pun dari mereka yang mau berteman denganku, mereka semua menganggapku beban bagi mereka jika aku berteman dengan mereka. *** “Tara! Kemari. Aku punya mainan baru dari kakek.” Olika adalah salah satu teman yang mau berteman denganku, ia tidak pernah mempermasalahkan keadaanku, ia mengatakan jika berteman tidak boleh menilai kekurangan teman, namun menyayangi dia apa adanya. Kalau bisa memberi semangat yang lebih untuknya. “Untuk apa kamu memanggilku?” kata-kata itu aku tulis pada secarik kertas, Olika membacanya dan kemudian berbicara,”Aku mau pamer mainan baruku Dir, kakek baru tiba dari Eropa, dan ia memberiku mainan ini, kamu suka gak?” Olika menaikkan bibirnya. Cantik sekali rasanya melihatna tersenyum. Olika adalah gadis yang beruntung, ia tidak sama denganku, ia bisa menyulam, berbicara, bahkan menyanyi. Aku hanya bisa mengiringi musik tatkala ia menyanyi. Aku hanya bisa memainkan alat musik tanpa mampu mengeluarkan suara dari bibirku sendiri, mustahil aku akan bisa menyanyi, sebuah mukjizat jika aku bisa menyanyikan lagu dengan suaraku sendiri. “Olika, bodoh sekali kamu mau berteman dengan patung ini! Ia kan cacat bodoh! Sudah seharusnya kamu menjauhinya, nanti kamu cacat juga seperti dia,” Supija menghampiri kami dan menginaku. Sakit sekali rasanya hati ini mendenngar hinaan dari Ija, sangat sakit batinku, seperti diiris sembilu. Aku ingin berlari namun aku tidak mau membuat Lika terluka, aku tau dia sangat menyayangiku sebagai temannya, tapi aku juga tidak mau karena Lika berkawan denganku, lantas ia dijauhi banyak teman di sekolah. “Eh cacat! Ngelamun lagi! Kamu tahu gak kalau anak cacat kayak kamu tuh bagusnya di dalam rumah aja, kamu tuh gak pantes keluar rumah, Dongo banget sih kamu Cat, hahahahaha.” Aku mengambil kertasku dan menuliskan sesuatu “Jangan pernah lagi kamu mengatakan aku bodoh! Mending aku masih punya harga diri!” “Apa harga diri? Diri kamiu aja gak ada harganya. Muluk-muluk lagi, Capek Dehhh!” Supija tertawa terbahak-bahak sembari mengambil mainan yang aku pegang. “Ija jangan itu mainanku!!! Lika berlari mengejar Ija. “Hayo kalau bisa, suruh aja temanmu ambil. Hahaha.” Supija berlari ke arah rumah Pak Kades. “Aku melambai-lambaikan tanganku kepada Ija agar dia mau mengembalikan mainan milik Lika, namun apa daya aku tidk kuasa menahan apa yang dilalui daritadi. Aku berusaha mengejar Ija, dan akhirnya aku berhasil menarik bajunya, aku sudah dikagetkan dengan bunyi yang tidak biasanya. Supija melempar bola ke arah rumah Pak Kades. Mendengar ada suara keras, Pak Kades segera menemui kami yang bermain di luar rumahnya, ia mendatangi kami dengan wajah merah membara. “Siapa yang melempar bola di sini?” Pak Kades memelototi kami semua. “Dia Pak! Dia yang punya bola itu Pak.” Supija menunjuk ke arahku dengan wajah yang sangar. ”Dasar nakal! Kenapa kamu berani sekali merusak jendela saya? Apa kamu bisa menggantinya? Ayahmu saja sangat disiplin dan baik sekali.” Aku merasa teriris dengan kejadian yang menimpaku ini, aku memang tidak punya ibu, tap aku bisa menjadi anak yang baik untuk semua orang walaupun aku cacat. Tak bisa mengeluarkan kata-kata bukan berarti aku tidak berarti di dalam masyarakat, aku bukan beban, aku yakin suatu hari mereka aka n menyesal karena telah mengoloku dan meremehkanku. “Bohong! Ija bohong Pak, yang melakukan itu sebenarnya bukan Tara Pak, seharusnya bapak bisa donk tahu siapa yang salah, Ija tidak mungkin kan mau mengakui kesalahannya. Tadi itu Tara berusaha mengambil minan saya dari Ija Pak, namun dia tetap bersikeras tidak memberikannya dan malah melempr bola itu ke arah jendela bapak. Coba bapak tanya yang lain kalau gak percaya. Pak Kades senyum-senyum sambil menatap langit, ia seraya berkata,”Saya sebenarnya sudah tahu siapa yang salah, saya sengaja menguji kesetiaan kawan kalian, saya percaya Tara anak yang baik dan tidak mungkin akan melakukan hal yang tidak baik seperti itu. Supija dan kawan segengnya menunduk malu, mereka pulang tanpa pamit. Ija berbalik badan ke arahku dan menunjukkan gumplan tangannya padaku. Aku hanya tersenyum melihatnya, ada rasa sedikit senang dihatiku karena ia yang disudutkan, bukan aku. Aku bergegas pamit kepada Lika dengan memberikan secarik kertas bertuliskan “Lika terima kasih ya tadi sudah membelaku, aku pulang duluan, aku takut dimarah Ayahku, besok kita bermain lagi ya, sampai jumpa di sekolah”. Olika tersenyum membaca tulisan dariku, ia menganggukan kepalanya dan berkata,”Ya, hati-hati Tara.” *** Aku melihat ayah di depan televisi sedang sibuk mmengetik, aku tidak tahu apa ang diketik olehnya, aku pergi ke dapur untuk membuatkannya segelas susu hangat, agar Ayah mengantuk dan tertidur, aku kasihan melihat ayah yang merangkap peran menjadi Ayah sekaligus ibu, pada pagi hari Ayah melakukan tugas rutinnya menggantikan peran ibu, beliau bangun jam 5 pagi, ia membangunkan aku untuk sholat subuh, selepas itu ia merendam cucian dan menggilingnya dimesin cuci, memasakkan sarapan untukku, terkadang aku membantunya menggoreng telur dadar untuk kami makan bersama. Kebiasaan ini selalu kami lakukan setiap hari. Walaupun Ayah harus pergi mengajar dan pulang sore hari, namun aku tidak pernah sedikitpun merasa kehilangan kasih sayangnya. Setiap Sabtu dan Minggu ayah selalu mengajariku bermain musik, ia mengajariku bermain piano. Ayah mengatakan piano adalah alat musik yang sangat indah dan membuat kita tenang. Dahulu ketika ibu masih bersama ayah, mereka selalu menyanyi bersama. Memang yang aku dengar ibu sangat pandai menyanyi. Bahkan pernah menjuarai kontes menyanyi pasangan dan mereka meraih juara pertama. BERSAMBUNG

0 komentar: