Di rumah sakit Rinsa melihat beberapa orang berseragam putih, sedang memperbaiki infuse ditangannya dan ia melihat seorang wanita cantik yang dikenalnya.
“Dokter Venia?”
“Ya Rin, bagaimana rasanya? Masih sakit atau sudah agak mendingan? Kamu sudah 3 jam pingsan, dan sekarang kamu baru sadar.”
“Saya masih sedikit pusing dan kaki saya terasa sakit.”
“Hm.. kamu tidak boleh banyak fikiran dan usahakan jangan turun dulu dari tempat tidur, jika kamu butuh apa-apa silahkan panggil perawat yang jaga. Baiklah sekarang saya tinggal ya.”
“Dok..bisa panggilkan ibu saya? Saya ingin bertemu dengannya.”
“Baiklah, saya akan panggilkan ibumu.”
Rinsa hanya tersenyum pada dokter Venia. Ia menatap dokter Venia hingga ia keluar dari ruangannya.
Dokter Venia sampai di depan pintu dan menemui keluarga Rinsa.
“Ven. Bagaimana keadaan anakku?” Ibu Rinsa meremas-remas jarinya karena gelisah dengan keadaan Rinsa.
“Ia ingin bertemu denganmu.” Dokter Venia menatap keluarga rinsa dengan tatapan benci. Ia menatap ayah Rinsa dengan tatapan kebencian.
“Baiklah aku masuk dulu. Wia, Fia kalian ikut tidak?” ibu menggandeng tangan Fia dan masuk ke dalam kamar kelas IIA itu.
Sementara ibu,Wia, dan Fia masuk ke dalam. Ayah mengajak dokter Venia pergi ke luar rumah sakit. Mereka menuju sebuah sudut di depan rumah sakit.
“Ven, maafkan kesalahanku pada masa lalu, aku khilaf Ven, aku terpaksa memilih ke Tarakan dan meninggalkanmu begitu saja saat kamu masih mengandung Herxa, aku benar-benar khilaf Ven!”
“Cukup! Aku tidak mau dengar alasan kamu! Berhari-hari berbulan-bulan hingga bertahun-tahun aku menunggu kamu Mas! Kamu bilang kalau kamu pergi ke Tarakan untuk menjenguk ibu kamu. Tapi apa? Kamu tidak kembali ke Samarinda. Kamu tega meninggalkan aku yang tengah mengndung Herxa saat itu. Aku benci kamu!”
“Aku memang berdosa telah meninggalkan kalian, saat itu aku memang ingin menjenguk ibuku, tapi setelah ibuku sembuh, aku dilarang untuk kembali ke Samarinda. Aku sudah menjelaskan pada ibuku jika aku sudah memiliki istri di sana yaitu kamu. Tapi keluarga aku memutuskan agar aku tetap di sini. Hingga pada akhirnya aku ikut tes pegawai negeri saat itu. Dan aku lulus menjadi guru Biologi di SMA N 1. Setelah beberapa bulan aku bertemu dengan seseorang yang merupakan sahabat kita ketika kita masih kuliah dulu, ya dia adalah Oliqa. Sahabat kita. Aku jatuh cinta padanya, walaupun statusnya saat itu adalah seorang janda beranak satu. Aku sayang padanya dan aku pun menikah dengannya. Terus terang aku lupa padamu.” Harfi menundukkan kepalanya.
“Jahat kamu! Cukup hentikan! Anggap kita tidak pernah bertemu! Aku tahu jika ibumu daridulu memang tidak pernah suka denganku. Aku masih mau baik seperti ini karena rasa bersalahku telah menabrak Rinsa. Dan ketahuilah jika Rinsa dan Herxa tidak akan pernah bisa bersama walaupun mereka saling menyayangi. Mereka saudara kandung Mas! Mereka tidak akan bisa bersama. Saat itu kamu juga telah tahu jika aku adalah Ibunya, tapi apa? Kamu tidak pernah menemuiku. Kamu hanya menyuruh Herxa menjauhi Rinsa. Aku sengaja Mas memasukkan Herxa di fakultas dan Universitas ini. Agar suatu saat bisa bertemu denganmu tanpa harus aku yang mempertemukannya, aku sengaja sembunyi-sembunyi menjadi dokter di sini, agar kamu tidak tahu jika aku bekerja di rumah sakit ini.” Venia tidak kuasa menahan tangis. Ia terus menangis sehingga sapu tangan yang dibawanya tak sanggup lagi untuk mengelap wajahnya yang penuh dengan air mata.
“Maafkan aku Ven, aku tidak bermaksud seperti ini.” Harfi meraih tangan Venia.
“Lepas! Aku tidak mau lagi kenal dengan orang sepertimu!”
Venia pergi meninggalkan Harfi yang masih duduk di sudut rumah sakit itu. Harfi menatap pemandangan dengan tatapan kosong. Ia mengingat kejadian saat ia terakhir kali bertemu dengn Venia, yaitu saat ia pamit pada Venia yang sedang mengandung untuk menjenguk ibunya yang ada di Tarakan.
“Ven, ibuku terus meneleponku, ia sedang sakit dan menyuruhku untuk menjenguknya, aku tidak bisa membiarkan ini. Aku ingin kamu ikut denganku untuk menjenguknya.”
Venia yang saat itu sedang duduk hanya berkata,”Aku tidak ikut, aku tidak ingin menyusahkanmu, karena aku tahu jika ibumu tidak pernah suka denganku, aku di sini saja. Kan ada Ibu dan Ayahku di sini. Kamu jenguk saja ibumu Mas.”
“Baiklah besok pagi aku akan ke Tarakan dengan pesawat Batavia. Kamu jaga baik-baik keadaan kamu.”
***
“Mas..mas..mas… hey… kenapa melamun?” seorang perawat yang sedari tadi memperhatikan Hanfi menyadarkannya.
“A..iya Mbak. Makasih ya udah negur saya kalau saya melamun, saya pergi dulu ya.”
Perawat itu hanya memperhatikan Harfi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata,”Dasar ra waras.”
***
“Aku minta cerai Mas! Kenapa kamu membohongiku dulu? Kamu bilang kalau kamu tidak memiliki anak dan istri saat itu. Aku pernah dengar jika kamu menikah dengan Venia, tapi aku tidak bisa menghadirinya karena saat itu aku sedang dalam masa sidang cerai dengan Wian. Dan setelah setahun cerai aku ketemu kamu, saat itu kamu mengaku padaku jika kamu telah bercerai dari Veni. Jahat kamu! Kamu tega padanya. Kenapa kamu memilihku dan meninggalkan dokter cantik seperti dia dan memilih seorang guru seperti aku.” Oliqa duduk di ruang tamu sambil menangis.
“Aku juga tidak tahu Liq, aku saat itu sayang padamu. Aku sudah menyukaimu sejak kita SMA dulu dan aku mencoba mendekatimu saat kuliah dulu, tapi kamu lebih memilih Wian dibanding aku, akhirnya aku mencoba menyukai Veni. Aku tidak mau juga sebenarnya.”
“Sudah! Pokoknya aku mau kita pisah! Aku gak peduli kamu mau atau tidak! Aku tidak ingin Veni terluka, aku tidak mau orang lain luka dan aku senang. Aku tahu bagaimana hati Veni Mas! Dia sangat terluka! Aku gak peduli walaupun umur kita sudah tua. Aku tak peduli!” Oliqa masuk ke dalam kamar.
Wiarta yang sedari tadi mengintip dari dalam kamar, pergi keluar dan duduk di sebelah ayahnya.
“Ayah. Lebih baik selesaikan secara damai, Wia tahu bagaimana perasaan Ibu, Wia tahu jika sangat sakit hati seseorang wanita melihat seorang yang sah sebagai suaminya menikah dengan sahabatnya sendiri, bahkan meninggalkannya bertahun-tahun dan akirnya tahu jika suaminya itu menikah lagi. Saran aku Yah, lebih baik kalian bertiga bicara baik-baik. Bagaimana selanjutnya. Ayah.. meskipun aku bukan anak kandung ayah, tapi Wia sayang pada Ayah. Sekarang Rinsa masih dalam masa perawatan. Kira-kira sekitar satu minggu ia harus dirawat. Nah lebih baik gunakan kesempatan ini sebaik-baiknya. Agar ini tidak menjadi beban buat dirinya dan Dik Fia. Sekarang Fia beranjak remaja. Jangan sampai masalah ini membuat Fia menjadi salah jalan. Ayah pasti bisa.” Wia meninggalkan Ayahnya yang masih merenung, mencerna kata-kata dari Wia.
***
“Seandainya kita bukan saudara kandung Rin, mungkin kakak tidak akan meninggalkanmu, kakak sayang sekali padamu. Mungkin ini karena kita sedarah.” Herxa, menemani Rinsa yang sedang dirawat di rumah sakit.
Rinsa hanya menatap keadaan di depannya, ia belum dapat beranjak dari tempat tidur karena kondisinya masih lemah. Ia hanya meneteskan air mata. Tidak menyangka karena ia dan Herxa bersaudara. Dari dasar lubuk hatinya ia tidak ikhlas akan semuanya, tapi ia akan mencoba untuk menerima jika sebenarnya Herxa adalah kakak kandungnya.
“Rin jangan ngelamun. Waktu itu kakak belum bisa membongkar siapa sebenarnya kakak. Aku tidak mau kamu kaget dan membenci ayahmu. Dan ketika kmu wisuda kemarin itulah aku fikir waktu pling tepat buat membongkarnya. Aku tahu kamu masih belum terima, tapi inilah Rin, aku adalah kakak kandungmu, kita bisa saling menyayangi sebagai kakak dan adik. Sekarang waktunya minum obat, tapi sebelumnya harus makan dulu. Sini kakak suap.”
Rinsa hanya menuruti kata-kata Herxa, tetapi tidak ada sepatah kata yang diucapkannya. Ia hanya menangis dan sesekali membuka mulutnya ketika herxa memasukkan makanan ke dalam mulutnya.
“Dek, jangan nangis lagi ya! Kakak gak akan ninggalin kamu lagi kok, kakak akan menjagamu karena kamu adalah adik kakak. Sini buka mulutnya. Obatnya mau masuk ni!”
Rinsa menuruti kata-kata Herxa untuk minum obat. Kak seandainya kamu bukan kakak kandungku aku sangat senang bahkan ingin menari-nari saat kamu mengucapkan ini, Rinsa membatin di dalam hati.
“Rin, kamu kenapa daritadi diam? Kakak bingung Rin.” Herxa membelai rambut Rinsa dengan lembut.
“Enggak apa-apa kok Kak, aku cuma masih capek aja.” Rinsa tetap menatap pemandangan di depannya dengan tatapan kosong tanpa semangat.
“Ya kakak tahu kalau kamu masih sakit, kamu masih kecapekkan, tapi kamu jangan diamin kakak dong!”
“Sudahlah Kak! Aku mau tidur.” Rinsa menarik selimutnya, namun karena masih lemas, selimut itu terjatuh.
“Ya sudah kamu tidur, kakak akan menunggui kamu disini.” Herxa menyelimuti Rinsa yang sudah memejamkan matanya, dan tidur di kursi di samping Rinsa.
Rinsa tidak dapat tidur, ia hanya berpura-pura memejamkan matanya. Ia menatap Herxa yang menemaninya. Karena terlalu sedih, Rinsa tidak dapat menahan air matanya. Ia menangis dengan suara kecil.
***
“Rinsa…Rin… kamu dimana? Rin?” Herxa mencari Rinsa yang tidak ada di tempat tidurnya.
Herxa mencari Rinsa di kamar mandi dan seluruh koridor rumah sakit. Namun, ia tidak menemukan Rinsa. Ia kemudian pergi ke bagian informasi.
“Tut? Kamu tahu adik aku kan yang namanya Rinsa, adek tingkat kita tu loh.” Herxa menanyakan Rinsa pada Tuti. Teman kuliahnya dulu.
“Oh Rinsa. Ia tadi memang lewat sini. Katanya pengen keluar bentar, tapi gak tau mau kemana.”
“Kok kamu izinin sih Tut?”
“Ya mana ku tahu kalau kamu memang sayang sama dia, cari sana. Kok aku yang dimarahi. Huh dasar kamu!”
“Ya deh! Sorry ya. Ok lah aku akan cari dia.”
“Eh, ngomong-ngomong kamu gak CLBK? Trus dua tahun ini kamu kemana? Kok gak kelihatan, kamu abis wisuda langsung hilang?”
“Aku gak mungkin balik sama Rinsa, jangan tanya alasannya. Trus kalau yang aku gak kelihatan tuh karena aku dinas di RSUD Samarinda, aku pergi cari Rinsa ya.”
Tuti menatap Herxa dengan menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tidak menyangka akan betemu lagi dengan temannya itu.
***
“Apa? Rinsa hilang! Kamu gimana sih Herxa! Bagaimana keadaannya?” Bu Oliqa meremas-remas kedua tangannya ketika tiba di rumah sakit dan mendapat laporan dari Herxa jika Rinsa hilang.
“Betul Tante. Pas aku bangun Rinsa udah gak ada. Maafin Herxa Tan. Aku gak bisa jaga adikku.” Herxa menundukkan kepala.
“Sudah Xa. Tidak apa-apa, alangkah baiknya kita mencari Rinsa.” Oliqa segera menarik tangan Herxa.
“Kamu tahu tidak dimana biasanya Rinsa pergi?”
Herxa merenung sejenak dan berkata,”Tahu Tan, di pantai.”
Oliqa dan Herxa segera pergi ke pantai, ternyata Herxa benar. Rinsa ada di sana dan ia sedang bermain-main ditengah pantai.
Herxa dan Oliqa segera menyusul Rinsa di sisi pantai.
“Rinsa.” Teriak Herxa dan Oliqa.
Rinsa membalikkan tubuhnya dan melihat kedua orang yang mendatanginya itu dengan tatapan marah.
“Kalian mau mentertawakan aku? Karena aku begitu tolol dan bodoh?menyayangi orang yang ternyata kakak aku sendiri. Yang memiliki ayah genit, yang menyukai dua orang wanita sekaligus, sengaja berbohong untuk….” Rinsa belum sempat menyelesaikan kata-katanya, karena ombak datang menyeret tubuhnya.
“Rinsa!” Herxa terkejut, ia segera berlari untuk menarik Rinsa yang sudah setengah tenggelam.
Ombak yang menyeret tubuh Rinsa terlalu kuat dan besar, sehingga Herxa juga ikut terbawa.
“Rinsa…Herxa..kembali!” Oliqa dengan lemas hanya bisa menangis menatap hal yang terjadi di depannya.
0 komentar:
Posting Komentar